Feeds:
Pos
Komentar

Kegiatan MataKataKita berupa sayembara penulisan cerita pendek bagi penulis mata awas (masyarakat normal) dan penulis tunanetra untuk dikolaborasikan dalam sebuah penerbitan buku dua aksara. Penerbitan buku tercetak aksara braille untuk tunanetra, dan penerbitan buku aksara latin untuk masyarakat mata awas.

Syarat dan Ketentuan Karya

1. Peserta: Terbuka untuk umum, baik dari kalangan mata awas maupun tunanetra.

2. Tema : Perjuangan hidup

3. Isi :

  • Maksimal 5 halaman A4 untuk aksara latin; dan 15 halaman untuk aksara braille.
  • Diketik dengan aksara latin berspasi 1,5 fontasi 12 poin Times New Roman; dan aksara Braille (manual atau tik) untuk tunanetra
  • Harus karya asli, bukan saduran atau jiplakan
  • Memenuhi kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar serta sesuai dengan Ejaan yang Disempurnakan (EYD)
  • Karya yang dikirimkan adalah karya yang hak ciptanya masih menjadi milik penulis, dan belum pernah dipublikasikan di media massa

4. Pengiriman:

  • Untuk pengiriman cerpen beraksara latin, baik dari kalangan mata awas maupun tunanetra, dikirim melalui email dalam bentuk lampiran softcopy dokumen (attachment) berformat *.doc atau *.rtf. Email dikirimkan ke matakatakita@gmail.com dengan subjek: “Sayembara Cerpen MataKataKita” dengan mencantumkan:
  1. Nama lengkap
  2. Biodata singkat penulis (maksimal 50 kata)
  3. Alamat surat menyurat
  4. No. Telepon / ponsel
  • Bagi yang mengirimkan cerpen dalam bentuk aksara braille, baik tertulis manual atau dengan mesin tik braille, naskah dapat dikirimkan melalui pos ke alamat:

Komunitas EnamPena
d/a Jln. Jenderal Ahmad Yani No. 608 Bandung 40115

  • Setiap peserta paling banyak mengirimkan 2 (dua) judul karya
  • Batas akhir penerimaan karya adalah tanggal 4 Oktober 2009

5 . Seleksi:

Satu buku akan memuat 7 karya dengan perincian:

  • 1 buah karya dari sastrawan Putu Wijaya sebagai penulis tamu
  • 1 buah karya dari sastrawan Iwan Dwi Kustanto sebagai penulis tamu
  • 2 buah karya dari penulis mata awas hasil seleksi sayembara
  • 2 buah karya dari penulis tunanetra hasil seleksi sayembara
  • 1 buah karya dari panitia penyelenggara

6. Penjurian:

  • Penjurian sayembara akan dilaksanakan oleh tim yang diketuai sastrawan Hudan Hidayat. Keputusan dewan juri tidak dapat diganggu gugat.

7. Hadiah:

  • Masing-masing peserta yang cerpennya terpilih mendapatkan hadiah uang senilai Rp.500.000,-. Cerpen yang terpilih seleksi sayembara akan diterbitkan dalam buku kumpulan cerpen beraksara braille yang akan disebar di perpustakaan Sekolah Luar Biasa dan Panti Tunanetra di wilayah Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan D.I. Yogyakarta. Selain itu juga diterbitkan buku aksara latin yang akan disebarkan secara gratis di seluruh Indonesia.

sumber : MataKataKita

Nowonderlah, filmnya Upi selalu teopebegete. Gw nontonnya di tipi sih, jadi kayaknya miss adegan2 syur Fahrani sama Vinno (yg gosipnya cowoknya Upi… ups). Tapi tetep keren kok.

Dari awal gw udah curiga ini love-story yang beda. Emang bener. Gw critain dikit nih. Critanya tentang Radit dan Anjani yang mutusin buat nikah muda. Nah, hidup mereka tuh bener-bener ancur gak keruan. Buat makan sehari-hari, kalo gak ngutil di supermarket, ya nyolong sana-sini. Tambah-tambah si Radit pengangguran dan parahnya doi junkie. Tapi, gw salut sama karakter Anjani. Doi bisabisanya cinta mampus ama Radit. Beuh, adakah cewek kayak dia di dunia nyata? Kalo ada, gw daftar dah…

Jani luar biasa sabar ngadepin Radit yg cemburuan. Cinta emang butuh pengorbanan. Gak salah. Banyak hal yg musti Jani korbankan. Mulai dari masa depannya, hubungannya dengan orang tua dan keluarganya, sampe hidupnya sendiri. Lo bayangin, doi tahan gak makan beberapa hari dan masi bisa bilang, I LOVE YOU, BODOH ke si Radit. Pengorbanan terbesar yg dilakuin Jani adalah waktu si Radit sakau sampe mau mampus. Gw nangis ngeliat ketabahan Jani.

Lanjut Baca »

Film ini sangat edukatif, dan menyentuh. Semangat Laskar Pelangi (yang terdiri dari 10 anak tidak mampu) dalam menuntut ilmu di tengah kondisi hidup yang serba-susah, membuat saya merasa patut bersyukur-sesyukur-syukurnya atas apa yang saya dapati dan jalani hingga saat ini. Sekaligus membuat saya malu mengakui kebusukan saya: pemalas, pengeluh, penuntut.

Entah apa yang akan terjadi pada diri saya jika (naudzubillah) saya terlahir pada masa itu dengan kondisi serba-sulit. Tetapi, sangat bangga rasanya jika bisa menjadi bagian dari mereka saat itu. Duduk berbincang dengan Ikal mengenai karya sastra Indonesia; berguru segudang ilmu pada Lintang; berdiskusi masalah musik dan seni dengan Mahar; berkonsultasi mengenai tubuh kekar pada—seseorang yang entah siapa namanya, yang sempat menyarankan Ikal untuk memakai potongan bola tenis pada dadanya… ah, sayangnya saya tidak terlalu mengenal Laskar-laskar lainnya yang ditampilkan hanya sebagai pelengkap saja.

Saya pun akan sujud-sungkem pada Ibu Muslimah yang sungguh luar biasa. Beliau lebih dari sekadar guru. Entah ada berapa orang Ibu Muslimah di Indonesia (semoga tidak hanya satu Ibu Muslimah saja). Saya harap keteladanan dan ketulusan Ibu Muslimah dapat menjadi inspirator bagi seluruh guru di Indonesia, dapat mengetuk pintu hati para pengajar kita. Bahwa menjadi guru adalah sebuah cita-cita mulia, bukan semata profesi yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan ekonomi. Dan mestinya, pemerintah pun menyadari (dan memahami) hal ini, sehingga para guru dapat fokus mengajar murid-muridnya tanpa perlu memikirkan (hal terburuknya) bagaimana cara mendapatkan “pendapatan tambahan” dari kegiatan mengajarnya. Lanjut Baca »

AKHIRNYA… dengan ekspresi bahagia, saya menyewa “Mereka Bilang, Saya Monyet” dari sebuah rental VCD, setelah tersenyum garing pada petugasnya yang tertawa—mengejek judul film ini.

Di Bandung, hanya Blitzmegaplex (yang harga per tiketnya cukup untuk menonton dua judul film di 21 atau XXI) yang menayangkan film karya Djenar Maesa Ayu ini. Selain dianggap kurang komersil, konon hanya bioskop tertentu saja yang memiliki fasilitas lengkap untuk memutar film berbasis digital ini. Walhasil, saya hanya bisa berharap waktu berjalan cepat hingga tiba saatnya film ini dibakar dalam kepingan CD.

Mari kita mulai bermain dengan si Monyet, hehe…

“Ibu saya …” kalimat menggantung ini menjadi teaser yang menarik untuk saya. Pertama, titik-titik itu terisi dengan kata “cantik”, lalu dihapus menjadi “baik”, kemudian “anggun”, sampai akhirnya… “monyet”. Dan si ibu pun langsung mendorong kepala anaknya ke meja.

Tetapi kemudian, kalimatnya berkembang menjadi “Ibu saya Lanjut Baca »

Niat nonton Kungfu Panda, malah kecantol Tri Mas Getir. Awalnya saya pikir, film ini besutan Kalyana Shira (Nia Dinata project) karena lagi-lagi dihiasi wajah—basi—Tora Sudiro, Indra Birowo dan Cut Mini Theo. Dan cerita yang diangkat pun lagi-lagi—fresh dan gress—tak biasa dari genre film yang sedang marak diputar.

Tri Mas Getir bercerita tentang tiga orang pemuda “getir” bernama—waduh, sory, saya lupa siapa nama tokoh yang diperankan Tora—sebut saja Tora, Ujang (Vincent Club 80’s) dan Bedjo (Indra Birowo) dalam perjuangannya mempertahankan perguruan tempat mereka menuntut ilmu pada seorang Shi Fhu/guru. Konflik dimulai ketika dengan konyolnya Shi Fhu meninggal hanya gara-gara keselek rendang Padang dari RM Padang milik ayahnya Ujang. Kematian Shi Fhu tidak hanya meninggalkan luka dan rasa kehilangan bagi murid-muridnya, melainkan juga HUTANG.

Suatu hari Lanjut Baca »

… dan apa yang didapat?

Pertama-tama, mungkin saya perlu mengemukakan alasan kenapa saya sampai rela mengantri tiket selama 1000 detik dan mengeluarkan Rp. 12.500,00 dari kocek HANYA untuk menonton film yang ternyata merupakan sequel dari Eiffel I’m in Love ini. Yeah, just for “clean” my eyes, coz the casts are good looking enough. Kata teman saya, “Itu lho, pemeran Tita-nya yang ada di iklan CITRA. Wah, cute banget!” walah, alasannya terdengar cukup konyol.

Astaga-naga, saya sampai melupakan nama asli pemeran Tita yang baru (yang dulu diperankan Shandy Aulia). Well, Tita yang SEKARANG jauh lebih segar dan menggemaskan. Sangat memanjakan mata dengan sikap manjanya yang khas remaja 17 tahunan. Tak ada yang baru dalam pembawaannya, kecuali itu tadi, Tita yang sekarang lebih KINCLONG. Hoho. Lalu, tokoh Adit kini diperankan Richard Kevin yang selalu kaku dalam setiap perannya di beberapa film (Cinta Pertama, Get Married, From Bandung With love). Ia hanya menang “manis” saja dibanding Samuel Rizal.

Wah, semua tokoh dalam Lost in Love ini benar-benar baru dan beda dari Eiffel I’m in Love. Bunda (dulu: Hilda Arifin) dan kakak Tita, Alan (dulu: Tomy Kurniawan) kini diperankan dua keluarga Soebono (aduh, saya lupa namanya, hanya ingat Adrian Soebono saja). Papa Tita yang dulu diperankan Helmi Yahya pun kini diganti dengan George Rudi, dan Didi Petet digantikan Barry Prima (whuuuzzz jauh amet yak) untuk pemeran Papa Adit. Unie, Nanda dan Farah, bahkan Intan pun semua berganti wajah, lebih culun dan tidak berkarakter dari yang sebelumnya.

Ada penambahan tokoh baru bernama Lanjut Baca »

mmm_posterpreview.jpgAh, saya sedang tidak perduli dengan hal-hal teknis yang cukup mengganggu, seperti kualitas gambar, teknik pengambilan gambar dsb. (halah, kayak yang ngerti aja, Dun). Ya, saya memang bukan mahasiswa broadcast atau sinematografi yang mengerti hal-hal tersebut. Saya hanya penonton yang berusaha melihat dengan hati. (halah lagi)

“Mengejar Mas Mas”, judulnya nampak kurang sinkron dengan keseluruhan isi ceritanya. Tetapi, jujur, saya suka bagaimana film ini bercerita.

Syahnaz (Poppy Sovia), seroang gadis Jakarta dengan segala atribut keglamorannya sebagai gadis gaul dsb. Suatu subuh, ia pulang dari dugem bersama teman-temannya. Kadung kepergok sang ayah (Roy Martin), Syahnaz pun pura-pura sedang berolah raga pagi. Eh, sialnya, Syahnaz yang sedang ngantuk-ngantuknya, kualat, harus menemani sang ayah berlari pagi. Lanjut Baca »

film18281.jpgstandar. kalo aja pemainnya bukan Marsha Timothy sama Ricahrd Kevin yang ‘nyegerin’ mata, saya bakalan tidur, atau bahkan meninggalkan bioskop sebelum waktunya^^

nilai: 6

c_j_by_dadun.jpgAlasan saya menonton film ini awalnya hanya karena penasaran dengan aktingnya Kirana Larasati. Sekaligus mengobati kekecewaan saya sebab gagal menonton Perempuan Punya Cerita yang juga menampilkan ia di dalamnya.

Cerita yang biasa, sebenarnya. Tentang seorang gadis yang selalu menghindari pemuda yang mendekatinya karena alasan masa lalu yang cukup kelam. Namun dalam penggarapannya, film ini mengisahkan dua gadis yang (seolah-olah) berbeda: Claudia, anak SMA yang masih 17 tahun yang begitu menggebu-gebu ingin memiliki seorang kekasih dan Jasmine, seorang SPG yang sudah (hampir?) berkepala tiga yang sibuk memilah-milih lelaki sekaligus berusaha membuat mereka ilfil dan meninggalkannya.

Seperti tag line-nya, ini memang benar-benar komedi romantis. Sungguh fresh dengan para castnya, suasana, latar dan setingnya, dialog-dialognya yang ringan, lucu tetapi sederhana dan tidak mengada-ada, modern, natural dan tentu saja romantis.

Wah, film ini memberikan sesuatu yang lebih dari apa yang saya harapkan. Dengan gayanya yang ringan, film ini mampu memberikan hiburan yang begitu memanjakan mata dan perasaan. Kita akan tertawa dengan sendirinya dan imajinasi kita mengalir lancar, tanpa ada keinginan untuk berjalan mundur atau mencoba maju menuju akhir. Bahkan saya berharap film ini tidak akan berakhir karena semakin penasaran memikirkan seperti apa endingnya, kaki saya seperti digelitik sesuatu yang membuat saya melambung dalam kenikmatan menonton.

Adegan yang membuat saya sangat terkesan adalah saat Claudia berkelahi dengan preman-preman tengil yang tak lain teman sekolahnya sendiri. Di luar dugaan, perkelahian itu justru menjadi bahan tertawaan karena sangat tidak biasa. Mereka tidak benar-benar berkelahi, hanya berpose seperti yang dilakukan model-model untuk majalah, tetapi berhasil meyakinkan saya bahwa ini adalah adegan perkelahian.

Dan yang luar biasa, adegan demi adegannya tidak dapat diprediksikan atau diramalkan. Setelah kejaidan A, saya tidak pernah membayangkan bahwa lanjutannya akan ke B, kemudian ke C dan seterusnya. Dan masing-masing adegannya pun… wah, benar-benar mengesankan dan meresap dalam perasaan, sungguh menghibur. Biarpun hampir-hampir mirip dengan gaya FTV, film ini tetap mampu memberi sentuhan lain dengan cita rasanya sendiri.

Awi, sang sutradara cukup lihai dalam menggarap film ini. Saya sendiri tidak menyangka ceritanya akan seperti ini sebab memang sejak awal saya selalu menghindari sinopsis. Hanya menjelang beberapa saat sebelum semuanya terungkap, barulah saya sadar tentang maksud dari semuanya dan ternyata tebakan saya benar. Ah, seandainya saya tidak pernah menebak-nebak, mungkin akan menjadi kejutan tersendiri saat mengetahui bahwa Claudia dan Jasmine…

Well, keseluruhan oke. Mieke Amalia dan Tiza Radia, biarpun aktingnya biasa-biasa saja, namun mampu menghidupkan suasana. Dan Kinaryosih juga Kirana Larasati, sip, perpaduan yang hampir mirip. Andika Pratama membuat saya sedikit under estimate dengan aktingnya yang begitu-begitu saja, dan Nino Fernandes cukup memesona dengan aktingnya yang sederhana. Mario Lawalata dan Sakurta Ginting membuat saya tertawa-tawa, juga VJ Fikri yang membuat saya mengelus dada. Applause buat Ira Maya Sofa dan Tio Pakusadewo. Dan salam kenal buat Mas Awi, sang sutradara. This is cool one!

Wah, terlambat. Film ini sudah hampir ditiadakan di bisokop-bioskop besar di Bandung. Kemarin saja, saya baru mendapat tiket lima menit setelah pemutaran berlangsung dan masih bisa menikmati bangku B dengan tenang. Banyak bangku kosong pun.

Nilai dari saya: 8,5

aac_by_dadun.jpgSutradara : Hanung Bramantyo
Penulis Naskah : Salman Aristo & Ginatri S. Noer dari Novel Karya Habiburrahman El Shirazy
Portal : http://ayatayatcintathemovie.com/
Pemain :
Fedi Nuril, Rianti Cartwright, Zaskia Adya Mecca, Noura
Melanie Putria, Carrisa Putri, Oka Antara, Surya Saputra, Dennis Adiswara

Pertama-tama, saya acungkan empat jempol untuk Hanung Bramantyo yang, bagi saya, cukup berani mengambil risiko. Memvisualisasikan novel ke layar lebar bukanlah perkara mudah, apalagi untuk novel sekaliber Ayat-Ayat Cinta. Banyak tantangan yang harus Hanung taklukan, dari mulai menerjemahkan bahasa novel yang ‘tidak main-main’ ini menjadi bahasa film yang juga harus ‘tidak main-main’, pengambilan gambar yang sebagian besar harus dilakukan di negara lain yang nota bene perlu perizinan dan tetekbengeknya yang memusingkan, dan yang paling utama adalah menjaga ‘perasaan’ sang penulis dan pembaca agar tidak kecewa saat menonton filmnya.

Dalam sebuah kesempatan, Hanung menegaskan: janganlah terlalu berharap setiap film yang diadaptasi dari novel akan memiliki alur dan visualisasi yang sama persis dengan yang tertulis dalam novelnya, bahkan film Lord of the Ring atau Harry Potter pun berbeda dengan versi novelnya. Tetapi para pembaca yang kemudian menjadi penonton, nampaknya tidak mau tahu urusan itu. Pokoknya, mereka membayar tiket dan membeli pop corn lalu duduk di bangku bioskop untuk meng-akur-kan imajinasi mereka saat membaca dengan film yang akan diputarkan.

Teman saya, pengagum novel Ayat-Ayat Cinta merasa sedikit kecewa dengan perbedaan tersebut tetapi ia masih dapat menikmati, bahkan sampai bergetar dan menangis. Sedangkan saya sendiri…?

Hm, seperti biasa, sambil berusaha menikmati, imajinasi saya selalu mencoba beranjak selangkah lebih jauh dari alur yang sedang terjadi. Ketika screen di depan sedang menayangkan kejadian A, saya sudah berpikir tentang kejadian B dan ternyata… oh, sungguh film ini begitu mudah ditebak oleh seorang saya yang bahkan tidak tamat membaca novelnya dan sudah melupakannya. Tidak ada bedanya dengan saat saya menonton sinetron. Malah, sayangnya, masih ada adegan-adegan yang terkesan sangat sinetron. Membuat film ini agak hambar dan monoton. Yang paling menonjol adalah pada adegan-adegan yang dimainkan Zaskia Adia Mecca. Bukan masalah akting Zaskia, tetapi penggarapannya yang entah kenapa dibuat begitu klise: tamparan, pemukulan dan penindasan layaknya sinetron yang bertebaran.

Hal lainnya yang mengurangi greget film ini adalah perpindahan alur dan latar yang terlalu cepat. Mungkin maksudnya untuk menghindari kesan bertele-tele demi memenuhi standarisasi durasi film yang tak lebih dari seratus menit. Tetapi yang saya rasakan justru seperti ‘tempelan-tempelan’ adegan yang kurang sempurna dan kurang matang, sangat terburu-buru dan dipaksakan.

Pada bagian: kunjungan Maria dan ibunya ke rumah sang nenek terlalu dibuat sengaja memberikan peluang agar Fahri dapat menikah dengan Aisyah dan bahkan saat di rumah sang nenek tidak ada sedikitpun adegan yang meyakinkan kita bahwa kunjungan itu memang benar-benar terjadi dan natural. Di mana sang nenek? Bagaimana keadaannya? Hanung menganggapnya tidak penting.

Kemudian alur menjadi sangat kilat pada upaya pencarian jati diri Noura. Hanya dalam satu kedipan mata saja, orang tua asli Noura sudah ditemukan dan bahkan tidak ada pertentangan diantara mereka. Nampak begitu teratur. Setidaknya ada gambaran sedikit kesangsian dan sebagainya diantara seorang anak yang terpisah sedemikian lama dengan orang tua kandungnya. Atau, memang semudah itukah mencari orang tua asli?

Lalu, adegan Maria ke luar rumah dan ditabrak. Hanya beberapa detik dan lewat begitu saja. Ha? Apaan nih? Ya, saya tahu, ini bagian dari rencana Bahadur dkk., tetapi… hmmmph.

Tiba-tiba Rudi Wowor yang berperan sebagai ayah Noura datang ke kantor polisi untuk mengadukan pemerkosaan yang dilakukan Fahri pada Noura. Dan orang tua Nurul mengunjungi Fahri agar menikahi Nurul. Lho? Buru-buru amat, Mas Hanung! Maksa nggak sih? Seperti kehilangan deskripsi.

Lalu, persidangan yang… cukup aneh. Dan bukti yang akhirnya dibawa Maria pun, huh, lagi-lagi tidak natural.

Tentang inkonsistensi perasaan Aisyah, cukup termaklumi karena memang pada kenyataannya seperti itulah perasaan perempuan, meski dalam penggarapannya tetap saja terlihat dipaksakan dengan tuntutan ‘skenario yang memaksa’.

Tetapi, tentang kondisi Maria yang depresi, koma hingga sembuh yang… huuu, gimana sih, kok cepet banget, Mas Hanung? Cepetnya kelihatan banget! Masa, dikecup Fahri sudah langsung bisa bangun dan sembuh dari koma? Terlalu langsung, lho.

Wah, cukup, cukup. Saya tidak mau menyebutkan lagi yang lainnya. Gila, bisa-bisa saya ditimpuki para pencinta Ayat-Ayat Cinta, nih. Ampun, Mas Hanung. Tapi ini jujur, lho. Biasanya saya sangat kagum dengan karyamu. Tapi untuk yang ini….??? ya, saya mengerti, nampaknya ini cukup sulit. Tetapi, masa sih seorang Hanung Bramantyo…???

Ah, tapi, saya sungguh menikmati suasana ‘Mesir-Mesirannya’, pasar tradisional, flat-flat tempat tinggal, sungai Nil (?), onta Arab, padang pasir dan dialeknya. Siplah. Dan saya benar-benar menangis saat adegan Fahri menikahi Maria di depan Aisyah. Hooo… getirnya. Dan bicara tentang pesan moral, film ini tidak usah diragukan. Dari mulai kisah Nabi Yusuf A.S, sampai kisah Aa Gym berhasil ditampilkannya. Tetapi inti ceritanya sendiri adalah tentang ikhlas dan sabar.

“Maafkan bila ku tak sempurna…” yang dinyanyikan rosa pada reff Ayat-Ayat Cinta yang diciptakan Melly Goeslaw sebagai soundtracknya ini, nampaknya cukup mewakili film Ayat-Ayat Cinta. Yah, dimaafkan, kok, Mas Hanung. -Lho?-

Hm, buat yang penasaran dan merasa bahwa resensi saya ini SALAH dan NGGAK FAIR, silakan nonton sendiri filmnya lalu bantah pendapat-pendapat subjektif saya ini. Saya tunggu.

Nilai dari saya: 8.