Sutradara : Hanung Bramantyo
Penulis Naskah : Salman Aristo & Ginatri S. Noer dari Novel Karya Habiburrahman El Shirazy
Portal : http://ayatayatcintathemovie.com/
Pemain :
Fedi Nuril, Rianti Cartwright, Zaskia Adya Mecca, Noura
Melanie Putria, Carrisa Putri, Oka Antara, Surya Saputra, Dennis Adiswara
Pertama-tama, saya acungkan empat jempol untuk Hanung Bramantyo yang, bagi saya, cukup berani mengambil risiko. Memvisualisasikan novel ke layar lebar bukanlah perkara mudah, apalagi untuk novel sekaliber Ayat-Ayat Cinta. Banyak tantangan yang harus Hanung taklukan, dari mulai menerjemahkan bahasa novel yang ‘tidak main-main’ ini menjadi bahasa film yang juga harus ‘tidak main-main’, pengambilan gambar yang sebagian besar harus dilakukan di negara lain yang nota bene perlu perizinan dan tetekbengeknya yang memusingkan, dan yang paling utama adalah menjaga ‘perasaan’ sang penulis dan pembaca agar tidak kecewa saat menonton filmnya.
Dalam sebuah kesempatan, Hanung menegaskan: janganlah terlalu berharap setiap film yang diadaptasi dari novel akan memiliki alur dan visualisasi yang sama persis dengan yang tertulis dalam novelnya, bahkan film Lord of the Ring atau Harry Potter pun berbeda dengan versi novelnya. Tetapi para pembaca yang kemudian menjadi penonton, nampaknya tidak mau tahu urusan itu. Pokoknya, mereka membayar tiket dan membeli pop corn lalu duduk di bangku bioskop untuk meng-akur-kan imajinasi mereka saat membaca dengan film yang akan diputarkan.
Teman saya, pengagum novel Ayat-Ayat Cinta merasa sedikit kecewa dengan perbedaan tersebut tetapi ia masih dapat menikmati, bahkan sampai bergetar dan menangis. Sedangkan saya sendiri…?
Hm, seperti biasa, sambil berusaha menikmati, imajinasi saya selalu mencoba beranjak selangkah lebih jauh dari alur yang sedang terjadi. Ketika screen di depan sedang menayangkan kejadian A, saya sudah berpikir tentang kejadian B dan ternyata… oh, sungguh film ini begitu mudah ditebak oleh seorang saya yang bahkan tidak tamat membaca novelnya dan sudah melupakannya. Tidak ada bedanya dengan saat saya menonton sinetron. Malah, sayangnya, masih ada adegan-adegan yang terkesan sangat sinetron. Membuat film ini agak hambar dan monoton. Yang paling menonjol adalah pada adegan-adegan yang dimainkan Zaskia Adia Mecca. Bukan masalah akting Zaskia, tetapi penggarapannya yang entah kenapa dibuat begitu klise: tamparan, pemukulan dan penindasan layaknya sinetron yang bertebaran.
Hal lainnya yang mengurangi greget film ini adalah perpindahan alur dan latar yang terlalu cepat. Mungkin maksudnya untuk menghindari kesan bertele-tele demi memenuhi standarisasi durasi film yang tak lebih dari seratus menit. Tetapi yang saya rasakan justru seperti ‘tempelan-tempelan’ adegan yang kurang sempurna dan kurang matang, sangat terburu-buru dan dipaksakan.
Pada bagian: kunjungan Maria dan ibunya ke rumah sang nenek terlalu dibuat sengaja memberikan peluang agar Fahri dapat menikah dengan Aisyah dan bahkan saat di rumah sang nenek tidak ada sedikitpun adegan yang meyakinkan kita bahwa kunjungan itu memang benar-benar terjadi dan natural. Di mana sang nenek? Bagaimana keadaannya? Hanung menganggapnya tidak penting.
Kemudian alur menjadi sangat kilat pada upaya pencarian jati diri Noura. Hanya dalam satu kedipan mata saja, orang tua asli Noura sudah ditemukan dan bahkan tidak ada pertentangan diantara mereka. Nampak begitu teratur. Setidaknya ada gambaran sedikit kesangsian dan sebagainya diantara seorang anak yang terpisah sedemikian lama dengan orang tua kandungnya. Atau, memang semudah itukah mencari orang tua asli?
Lalu, adegan Maria ke luar rumah dan ditabrak. Hanya beberapa detik dan lewat begitu saja. Ha? Apaan nih? Ya, saya tahu, ini bagian dari rencana Bahadur dkk., tetapi… hmmmph.
Tiba-tiba Rudi Wowor yang berperan sebagai ayah Noura datang ke kantor polisi untuk mengadukan pemerkosaan yang dilakukan Fahri pada Noura. Dan orang tua Nurul mengunjungi Fahri agar menikahi Nurul. Lho? Buru-buru amat, Mas Hanung! Maksa nggak sih? Seperti kehilangan deskripsi.
Lalu, persidangan yang… cukup aneh. Dan bukti yang akhirnya dibawa Maria pun, huh, lagi-lagi tidak natural.
Tentang inkonsistensi perasaan Aisyah, cukup termaklumi karena memang pada kenyataannya seperti itulah perasaan perempuan, meski dalam penggarapannya tetap saja terlihat dipaksakan dengan tuntutan ‘skenario yang memaksa’.
Tetapi, tentang kondisi Maria yang depresi, koma hingga sembuh yang… huuu, gimana sih, kok cepet banget, Mas Hanung? Cepetnya kelihatan banget! Masa, dikecup Fahri sudah langsung bisa bangun dan sembuh dari koma? Terlalu langsung, lho.
Wah, cukup, cukup. Saya tidak mau menyebutkan lagi yang lainnya. Gila, bisa-bisa saya ditimpuki para pencinta Ayat-Ayat Cinta, nih. Ampun, Mas Hanung. Tapi ini jujur, lho. Biasanya saya sangat kagum dengan karyamu. Tapi untuk yang ini….??? ya, saya mengerti, nampaknya ini cukup sulit. Tetapi, masa sih seorang Hanung Bramantyo…???
Ah, tapi, saya sungguh menikmati suasana ‘Mesir-Mesirannya’, pasar tradisional, flat-flat tempat tinggal, sungai Nil (?), onta Arab, padang pasir dan dialeknya. Siplah. Dan saya benar-benar menangis saat adegan Fahri menikahi Maria di depan Aisyah. Hooo… getirnya. Dan bicara tentang pesan moral, film ini tidak usah diragukan. Dari mulai kisah Nabi Yusuf A.S, sampai kisah Aa Gym berhasil ditampilkannya. Tetapi inti ceritanya sendiri adalah tentang ikhlas dan sabar.
“Maafkan bila ku tak sempurna…” yang dinyanyikan rosa pada reff Ayat-Ayat Cinta yang diciptakan Melly Goeslaw sebagai soundtracknya ini, nampaknya cukup mewakili film Ayat-Ayat Cinta. Yah, dimaafkan, kok, Mas Hanung. -Lho?-
Hm, buat yang penasaran dan merasa bahwa resensi saya ini SALAH dan NGGAK FAIR, silakan nonton sendiri filmnya lalu bantah pendapat-pendapat subjektif saya ini. Saya tunggu.
Nilai dari saya: 8.